Arah Baru Ekonomi Indonesia di Tengah Perang Dagang

2 Oktober 2020, 02:44 WIB
Ilustrasi mata uang dollar. //PIXABAY

Rembang Bicara - Istilah the third way atau jalan ketiga masyhur ketika diperkenalkan oleh Antony Gidden. Pemikiran politik ini disuguhkan sebagai jalan alternatif untuk memenuhi kebuntuan sistem politik modern. 

Cara pandangnya mencoba mengombinasikan pemikiran sosialisme Eropa tradisional pada 1980-an dengan neo-liberalisme. Sehingga, munculnya pemikiran alternatif yang berfungsi menjawab permasalahan dalam sistem demokrasi yang sedang menghadapi perkembangan teknologi kian cepat.

Berkaca dengan karya Gidden tersebut, mungkin kah Indonesia akan memunculkan strategi the third way untuk mengatasi defisit perekonomiannya? Pertanyaan ini muncul untuk menjawab problematika ekonomi politik yang sedang dihadapi di tengah perang dagang dan ancaman resesi global. 

Pada masa Presiden Soeharto dan Soesilo Bambang Yudhoyono, Indonesia lebih menunjukkan kedekatannya dengan pihak barat. Hal tersebut sedikit berbeda ketika Presiden Jokowi menjabat sebagai kepala negara. Indonesia mencoba membelokkan layar kapal menjadi eastern sentris.

Pada kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia mencoba menjalin kerjasama dengan Tiongkok sebagai emerging state yang mulai mempunyai pengaruh besar di dunia internasional. 

Banyak investasi dan kerjasama ekonomi perdagangan mulai terjalin. Negeri Panda tersebut juga memberikan bantuan luar negeri yang tidak sedikit kepada Indonesia. Dalam waktu singkat Tiongkok menjadi top donor ketiga untuk Indonesia pada tahun 2018 setelah Singapura dan Jepang.

Melihat kondisi ekonomi global hingga akhir 2019 yang semakin bergejolak akibat perang dagang antara Amerika dan Tiongkok, muncul analisa dari para ekonom yang menjelaskan bahwa, hal tersbut berpotensi menciptakan resesi global. 

 Baca Juga: Intoleransi Ancaman Serius untuk Indonesia

Sehingga, sebagai negara yang menjalin kerjasama dengan kedua negara, Indonesia harus pandai memainkan posisi agar tidak terkena imbasnya. 

Langkah Zig-Zag Indonesia

Langkah zig zag memang sudah tidak asing lagi bagi setiap negara untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya, begitu juga dengan Indonesia. Secara historis, Indonesia pernah mengubah haluan kapal ketika kepentingan nasionalnya mulai berubah. 

Pada masa Presiden Soeharto, Indonesia lebih terlihat dekat dengan Amerika dibandingkan ketika Bung Karno menjabat sebagai Presiden yang terlihat dekat dengan Uni Soviet meski mendeklarasikan sebagai negara non-blok.

Kedekatan tersebut sangat terlihat dengan masuknya investasi penanaman modal asing pertama di Indonesia yang dilakukan oleh PT. Freeport. Investasi masuk ke Indonesia setelah 3 bulan pasca penandatanganan undang-undang penanaman modal asing (UU PMA) No 1/1967.

Kedekatan Indonesia dengan Amerika berjalan lancar bahkan tidak terdapat perubahan yang cenderung signifikan hingga Presiden Megawati.

Pada masa Presiden SBY memimpin, kedekatan antara kedua negara semakin terlihat melalui kunjungan Barack Obama ke Indonesia pada taggal 9-10 November dan terbentuknya kesepakatan Indonesia – US Comprehensive Partnership Agreement.

Namun, hal yang berbeda mulai terlihat ketika Presiden Jokowi memegang kemudi Indonesia. Muncul penurunan harmonisasi hubungan antara Indonesia dengan Amerika. Secara gamblang Indonesia memperlihatkan kedekatannya dengan Republik Rakyat Tiongkok.

Hal tersebut terlihat melalui neraca perdagangan antara kedua negara yang terus mengalami peningkatan. Dari data Kementerian Perdagangan, tahun 2014 yang hanya US$ 48.230.279,9, di tahun 2018 menjadi US$ 72.670.066,4. 

Terlebih pada masa Presiden Jokowi, Indonesia telah mengusik praktik monopoli yang telah lama berlangsung antara Pemerintah Amerika dengan PT. Freeport Indonesia dengan mengakuisisi 51% sahamnya.

 Baca Juga: Cerita Perjalanan Cinta Sule dan DJ Nathalie Holscher

Menelisik lebih jauh, kita bisa melihat bahwa banyak proyek infrastruktur di Indonesia yang dibiayai oleh investor Tiongkok. Tahun 2018 pemerintah Indonesia menandatangani kerjasama dengan Tiongkok dalam belt road initiative dengan total nilai sebesar US$ 23,3 miliar. Nilai terebut tentu sangat fantastis ketika kita melihat bahwa resesi global semakin mengancam akibat perang dagang.

Perang Dagang dan Jalan Ketiga

Perang dagang antara Amerika dan Tiongkok jelas memberikan dampak besar terhadap perekonomian global. Tidak terkecuali dengan Indonesia yang mempunyai kerjasama dengan kedua negara.  

Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, pada tahun 2018 mengatakan bahwa, kurs rupiah sempat mencapai angka Rp15.187 dikarenakan semakin menguatnya dolar Amerika akibat dari perang dagang.

Indonesia juga tercatat pada tahun 2019 mengalami defisit perdagangan dengan total nilai US$ 1,95 miliar atau sebesar Rp27,23 triliun. Meski nilai tersebut tidak sebesar defisit perdagangan kuartal keempat tahun 2018 yang mencapai angka US$ 2,05 miliar. 

Hal itu perlu menjadi catatan karena nilai tersebut juga dipengaruhi oleh perdagangan Indonesia dengan Tiongkok yang selalu mengalami defisit di sektor nonmigas. Hingga Juli 2019, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok dalam sektor nonmigas mencapai angka US$ 11.05 miliar.

Berdasarkan kondisi di atas, Indonesia perlu mencari jalan alternatif agar dapat menjaga stabilitas perekonomiannya dan tidak hanya didominasi oleh satu negara. Jalan alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara menjalin kerjasama dengan negara di kawasan lain seperti Timur Tengah. 

Negara di wilayah tersebut dapat dikatakan sebagai negara kaya dan mempunyai kapital kuat, sehingga mempunyai potensi besar untuk diajak kerjasama oleh pemerintah Indonesia.

Hasil laporan dari Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan OKI menjelaskan bahwa, terdapat negara di Kawasan Timur Tengah yang masuk dalam kategori High Income Countries, seperti, Bahrain, Kwait, Oman, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar yang GNI perkapita negara tersebut di atas US$ 13.000.

Dengan karakteristik negara di Kawasan Timur Tengah yang lebih menyukai pendekatan non-formal, maka Indonesia mempunyai potensi kuat untuk berhasil menjalin kerjasama dengan mereka. Terlebih Indonesia mempunyai sosok yang piawai dalam menjalin hubungan dengan negara di kawasan tersebut seperti Dr. Alwi Shihab.

Hal ini dibuktikan adanya penandatanganan kerjasama dengan beberapa negara di Kawasan Timur Tengah pada ahir tahun 2019. Seperti penandatanganan nota kesepahaman kerjasama Indonesia – Uni Emirat Arab dengan nilai US$ 7,4 – US$ 9,7 miliar, kerjasama Indonesia – Kwait dengan total nilai US$ 13 Juta di sektor perikanan, penelitian digitan untuk UMKM dan E-Commerce, serta data dan teknologi.

Jika berhasil meningkatkan kerjasama dengan beberapa negara di Kawasan Timur Tengah, muncul kemungkinan bahwa Indonesia dapat terhindar dari ancaman resesi global. Karena Indonesia dapat terhindar dari dominasi salah satu atau kedua raksasa ekonomi dunia yang saat ini sedang tarik menarik pengaruh di dunia.

Editor: Aly Reza

Tags

Terkini

Terpopuler