Bacaan Malam Halloween: Cerita Horor Diceburin Sumur Sama Hantu Jamu Gendong

30 Oktober 2020, 21:17 WIB
Ilustrasi Horor /Pexels

Rembang Bicara - Pada hari ke lima belas Ramadan tahun lalu, pagi-pagi betul setelah sahur saya menemani Pak Dhe mengambil kambing-kambing di peternakan yang sedianya akan kami bawa ke pasar hewan esok harinya. Kira-kira kalau nggak salah ingat, sekitar pukul empat pagi, beberapa menit saja sebelum subuh.

Karena jarak dari desa ke pasar hewan agak jauh, maka mau nggak mau sepagi itu kami harus segera bersiap diri. Kami akan berangkat ke pasar dengan menumpang mobil pick up milik salah seorang warga yang memang sering disewa para peternak desa untuk mengangkut kambing-kambing yang hendak dipasarkan hari itu.

Sampai di peternakan Pak Dhe yang letaknya di tepian kali ujung desa, kami baru sadar kalau wujud kambing yang akan kami jual ternyata penuh bopeng, kotor, dan nggak karu-karuan. Akhirnya, kami menggelandang tiga ekor kambing kucel tersebut untuk dimandiin di kali. Dan di sinilah cerita itu bermula.

Mulanya nggak ada yang aneh dengan kondisi di sekitar kali, sampai kemudian telinga saya sedikit terusik dengan suara rintihan orang minta tolong.

“Pak Dhe, denger nggak ada suara minta tolong?”

“Udah biarin, paling setan usil.”

Saya pun mencoba kembali fokus menggosok bulu-bulu kambing yang penuh lumpur kering. Tapi, suara rintihan orang minta tolong itu kian menjadi-jadi. Suaranya parau dan seperti orang kehabisan tenaga.

Sejenak saya melirik ke arah Pak Dhe, ternyata dia juga melirik ke arah saya. Pak Dhe kemudian meraih lampu senter yang ditaruh di batu cadas nggak jauh dari tempatnya berdiri. Senter itu disorotkan ke sembarang arah. Ke pohon sukun, nggak ada siapa-siapa. Ke pohon mahoni, sama saja. Ke celah-celah batu pinggir kali, juga nggak ada tanda-tanda apa pun.

Setelah kami dengarkan lagi dengan lebih teliti, ternyata suara itu berasal dari sebuah sumur di sisi selatan. Melihat kondisi sumur yang gelap, saya menelan ludah. Dalam hati saya membatin, Jenis setan macam apa yang muncul pagi buta seperti ini?

Pak Dhe melangkah pelan mendekati sumur dan saya menguntitnya dari belakang dengan bulu kuduk yang meremang.

“Tolooong.. Tolong sayaaa..” Suara itu terdengar makin jelas.

“Siapa di sana?” Balas Pak Dhe

“Tolooong saya, toloooong.”

Sekarang jelas sudah, suara itu berasal dari dalam sumur yang terkenal dalam itu. Pak Dhe mengarahkan senter ke dalam lubang sumur; memeriksa. “Loh, Kang Mamat?” Pekik Pak Dhe waktu mengetahui kalau yang merintih minta tolong adalah Kang Mamat, warga RT sebelah.

Beberapa menit kemudian Pak Dhe berhasil mengeluarkan Kang Mamat dari dalam sumur dengan menjulurkan tali tambang kepadanya. Tubuhnya basah kuyup, pucat pasi, dan sudah lemah terkulai karena kehabisan tenaga.

“Kok bisa di dalam sumur itu gimana ceritanya tho, Kang,” tanya saya ketika Kang Mamat tampak sedikit lebih tenang. “Saya nggak tahu.” “Kok bisa nggak tahu itu? Apa jangan-jangan sampeyan ngelindur ya?” Kali ini giliran Pak Dhe yang mencecar.

“Ah sampeyan ini, nggak ada riwayatnya saya ngelindur.”

“Lah terus, kalok nggak ngelindur nggak mungkin lah bisa nyebur sumur kayak gini.”

“Perasaan tadi itu saya lagi barengin Yu Karsinah, bawain jamu dagangannya. Tapi tahu-tahu saya malah udah menggigil di dalam sumur.”

“Hah? Yu Karsinah?” tanya Pak Dhe heran. “Yang bener saja, Kang, sampeyan ini. Mana ada lingsir wengi gini Yu Karsinah keliling jualan jamu.”

“Jadi ceritanya itu begini….”

***

Seperti biasa, sehabis tarawih saya mesti mampir dulu ke warung kopinya Masdar. Biasanya saya akan pulang kalau suara-suara tadarus nggak tedengar lagi. Paling mentok ya sebelum jam dua belas malam lah.

Semalam, saking serunya main kopek (remi) saya jadi nggak tahu waktu. Saya baru berniat pulang ketika jam di dinding warkop menunjukkan pukul setengah dua. Saya akhirnya pulang saat itu juga, niat hati mau bangunin istri buat makan sahur sekalian.

Pas nyampe di jalanan setapak deket kuburan, saya denger ada suara perempuan manggil-manggil saya. “Kang, Kang, enteni (tunggu), Kang.”

Saya reflek menengok ke belakang, ternyata nggak ada siapa-siapa. Ya sudah saya lanjut jalan lagi. Tapi baru beberapa langkah saja saya berjalan, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Pas saya menoleh lagi ke belakang, ternyata yang manggil-manggil tadi itu Yu Karsinah, berjalan sempoyongan sambil menggendong boran berisi jamu dagangannya.

“Loh, Yu, jam segini kok keliling?” tanya saya penasaran. “Heem eg, Kang, siapa tahu ada yang mau sahur minum jamu.” Masuk akal juga sih, pikir saya.

Begitulah sampai kemudian kami berhenti di perempatan nggak jauh dari arah rumah saya. Saya minta agar dibikinin jamu kuat sama Yu Karsinah. “Kok minum jamu kuat ini biar kuat puasanya atau kuat ‘itu’nya, Kang?” Goda Yu Karsinah. Asem tenan, suara Yu Karsinah yang genit itu bikin saya jadi birahi.

Setelah menenggak jamu kuat racikan Yu Karsinah, saya kehilangan kesadaran. Tahu-tahu pas melek, saya udah ada di dalam sini. Nggak tahu udah berapa jam saya di dalam sumur. Dari tadi saya teriak-teriak minta tolong sampai suara saya habis kayak gini. Untung saja ada sampeyan berdua.

***

Saya hanya manggut-manggut mendengar penuturan dari Kang Mamat. Kecuali Pak Dhe yang dari wajahnya tersirat kesan ganjil.

Sik, Kang. Sampeyan tadi bener-bener nemenin Yu Karsinah jualan jamu?”

“Hooh, demi Allah cuma nemenin thok. Saya nggak macem-macem.”

“Heh, bukan itu maksudku!”

“Hehehe ya siapa tahu sampeyan berpikir ke arah situ.”

“Terus sampeyan udah tahu kenapa sampeyan bisa masuk di sumur?”

“Mmmm, ini kalau saya boleh suuzhon, paling jamu saya dikasih obat tidur sama Yu Karsinah, terus saya dibuang ke dalam sumur. Tapi, saya punya salah apa ya ke dia?”

“Kamu inget nggak, Yu Karsinah itu kan udah meninggal dua bulan yang lalu?”

“MasyaAllah!!!!”

 

Editor: Aly Reza

Tags

Terkini

Terpopuler