Mengabadikan Sepak Bola (Resensi Buku 'Sepak Bola Tak Pernah Mati' Karya Miftakhul F.S.)

- 3 Oktober 2020, 00:48 WIB
Buku 'Sepak Bola Tak Pernah Mati' karya Mftakhul F.S.
Buku 'Sepak Bola Tak Pernah Mati' karya Mftakhul F.S. //Tokopedia

Judul                    : Sepak Bola Tak Pernah Mati

Penulis                 : Miftakhul F.S.

Penerbit               : FANDOM, Yogyakarta

Cetakan               : Pertama, 2019

Tebal                    : xii + 128 halaman

Rembang Bicara – Sepakbola telah memberi banyak hal dalam pergulatan kehidupan manusia. Ia bisa merubah nasib beribu-ribu orang hanya dalam hitungan detik, pun bisa menyebabkan orang hilang kesadaran dalam sekejap. Hal tersebut semakin membuktikan bahwa sepak bola selalu memiliki daya magis untuk menarik manusia semakin masuk ke dalamnya, seperti yang dialami oleh Miftakhul F.S. ini.

Setelah sukses lewat buku Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut (Indie Book Corner, 2016) dan PERSELA Menegaskan Identitas Kami (Indie Book Corner, 2017), Miftakhul F.S. kembali menulis buku bertemakan sepak bola. Dalam buku terbaru yang diberi judul Sepak Bola Tak Pernah Mati (Fandom, 2019) ini, Miftakhul menyajikan ulasan yang jauh lebih indeep dalam memahami suatu fenomena dan menemukan akar suatu permasalahan.

Meski demikian, bahasa yang digunakan untuk menarasikan hasil kerja analisis tersebut tidak serumit yang dipikirkan. Hampir seluruh artikel yang terdapat dalam buku ini menggunakan tutur bahasa keseharian yang mudah sekali dicerna oleh pembaca dari latar belakang apa saja.

Selain itu, lewat interpretasi kritisnya, Miftakhul mampu menangkap makna tersembunyi di balik suatu fenomena yang barangkali oleh banyak orang dipandang sekadar perilaku biasa. Seperti tafsirannya tentang efek positif sepakbola yang dimainkan anak kecil di pelataran masjid.

Ia menulis, “Dengan begitu, ingatan mereka tentang masjid adalah tentang hal-hal menyenangkan. Bukan tentang bentakan yang keras, apalagi kasar. Bukan pula tentang doktrin-doktrin yang terkadang menakutkan.” (Halaman 8). Makna yang terkandung dalam praktik tersebut adalah sepakbola bisa menjadi alat edukasi yang paling efektif dan efisien, sebab ia mampu mentransmisikan pesan ajaran secara halus dan berkesan.

Mengenai kelebihan ini, faktor penempaan dan pengalaman di dunia jurnalisme yang digeluti Miftakhul tentu memiliki peran signifikan.

Baca Juga: Sinau dari Lapangan Hijau: Melihat Gigi Tua Buffon

Selain berkontribusi pada tekstur tulisan, pengalaman Miftakhul yang acap kali bersentuhan langsung dengan para aktor sepak bola, baik dalam maupun luar lapangan, menjadikan data-data yang disuguhkan terjamin validitasnya. Kemudian data-data tersebut dianalisis menggunakan metode komparasi dengan cara menghadirkan dua potret yang saling berseberangan secara prinsip dan perilaku.

Sebagai contoh, dalam menjelaskan kemandekan pengelolaan kompetisi, Miftakhul mengawalinya dengan cerita saat bola tidak pernah berhenti menggelinding dari kaki ke kaki anak-anak kecil, tetapi di bawah meja federasi yang disimbolkan sebagai pengurus sepak bola negeri justru bola tergeletak kempes dan usang.

Atau saat ia dengan mudah menampilkan dua karakter yang kontras lewat cerita-cerita para legenda sepakbola nasional yang tetap mengabadikan cinta dan menebarkan ajaran luhur sepakbola kepada siapa saja sebagai antitesis terhadap perilaku pesepakbola sekarang yang beberapa di antaranya barbar dan tidak profesional.

Identitas Sepak Bola

Pada prinsipnya, buku yang menggunakan outline butiran lewat republishing articles ini memiliki satu topik utama, yakni identitas, persis seperti yang diusung dalam dua buku Miftakhul sebelumnya.

Alasan yang cukup kuat di balik konsistensi tersebut barangkali bisa ditemukan dalam salah satu diksi dalam buku ini, sebagai berikut: Sebab, di balik identitas itu ada sejarah, kebanggaan, dan juga cinta banyak orang (halaman 70).

Kalimat itu bisa diinterpretasikan ke dalam pemahaman, bahwa mengurus dan membincang sepakbola tidak bisa dilakukan tanpa kesadaran dan prinsip yang kuat. Justru saat sepak bola dianggap hanya sekadar pepesan tanpa nilai kognisi dan kehidupan, maka saat itu juga sepakbola sedang digiring menuju liang kematian.

Baca Juga: Ratusan Orang Rembang Terkena Covid-19, Anggaran Penanganan Ditambah Rp13 Miliar

Bagi Miftakhul, biang kerok kondisi itu adalah krisis identitas yang melanda hampir seluruh pencinta sepak bola negeri, baik  pemerintah, federasi, pemilik dan pengurus klub, pemain, maupun suporter. Krisis identitas ini menjadikan adanya disorientasi terhadap nilai luhur dan niat baik di balik penyelenggaraan sepak bola nasional.

Bukti disorientasi itu kadang kala ada di dalam lapangan, seperti unfairplay dan kekerasan. Kadang pula di luar lapangan lewat praktik politis dan bisnis. Bahkan, para petinggi federasi pun lebih memilih untuk berbicara tentang politik, bisnis, dan uang receh daripada mengonsep regulasi tentang pembinaan kompetisi dan keselamatan bertanding sekaligus menonton (halaman 97).

Urusan sepakbola dengan demikian semakin teralienasi. Apabila tidak segera diatasi, sepak bola yang dahulu dimaksudkan sebagai alat pemersatu dan perjuangan akan beralih menjadi sapi perah yang darinya praktik korup dan intoleransi mengalir.

Hal inilah yang tampaknya menjadi kegelisahan Miftakhul. Oleh karenanya, ia pun segera mencari jalan keluar agar persepakbolaan nasional segera beranjak dari keterpurukan akibat ketidakprofesionalan.

Ia menulis, “Sebab, perjuangan paling berat mencintai sepakbola di negeri ini adalah menjaga akal sehat.” (Halaman 84). Dari pernyataannya, Miftakhul telah memberi tawaran solusi yang paling rasional untuk ditempuh oleh para pencinta sepakbola, yakni mengaktifkan kembali akal sehat dan orientasi agar persepakbolaan Indonesia memiliki identitas yang jelas dan membanggakan.

Sebagaimana Marcia (1993) menjelaskan, upaya meraih identitas tersebut dapat ditempuh melalui eksplorasi, yakni proses menimbang tujuan, nilai, dan kepercayaan sebagai pegangan diri, dan komitmen terhadap pegangan hidup yang sudah dipilih.

Khusus tentang komitmen, wajib kiranya memahami ilmu tentang sepakbola agar tidak semena-mena membuat regulasi yang justru merugikan kompetisi, seperti kelakar yang ditulis Miftakhul berjudul Liga Gojek (halaman 37).

Sebab, berkomitmen atau merawat segala sesuatu yang tidak berdasar ilmu akan berakhir runtuh. Konsekuensi dari tuntutan itu tentu saja tidak hanya menyasar pemerintah dan federasi, melainkan seluruh elemen pecinta sepakbola, tidak terkecuali suporter.

Kini sudah saatnya mengganti kualitas obrolan sepak bola dari yang semula hanya berkutat soal bursa kepengurusan PSSI berganti menjadi kajian tentang profesionalisme kompetisi, kapabilitas pengadil lapangan, kualitas pemain lokal, pendidikan suporter, dan regulasi lain yang memiliki bahasan vital.

Terakhir, sebagai apresiasi atas buku ini, penting kiranya mengutip kembali pernyataan Albert Camus bahwa, “Setelah bertahun-tahun lamanya sejak berkecimpung dalam dunia yang telah memberikan banyak pengalaman kepada saya, di mana saya banyak belajar tentang moralitas dan kewajiban, sungguh semua itu berkat sepakbola.”

Editor: Aly Reza


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x