Teror Kuntilanak Merah Penghuni Lemari Baju

- 19 Oktober 2020, 23:54 WIB
Ilustrasi horor
Ilustrasi horor //Pexel/Oleg_bf Oleg Boris

Rembang Bicara - Ketika pertama kali ditaruh di sudut ruang tengah pada pertengahan 2015 lalu, saya sebenernya sudah merasakan hawa aneh tiap melihat lemari gantung yang digarap sendiri oleh bapak. Saya merasa seperti ada sosok yang selalu mengawasi dari sana. Nggak hanya itu, dalam penglihatan saya, keadaan di sekitar tempat lemari itu berdiri kayak suram banget, gelap, dan, ah pokoknya aneh lah.

Pernah juga ketika saya terbangun suatu malam, saya mendengar suara glodakan dari dalam lemari gantung tersebut. Saya mulai ngeri membayangkan, jangan-jangan dalam lemari tersebut ada penunggunya. Bayangan yang kemudian saya tepis sendiri dengan keyakinan, paling-paling cuma tikus. Apalagi emang rumah saya terkenal banyak tikusnya. Jangankan malam itu, pada malam-malam sebelum lemari itu ditaruh di rumah saja suara glodakan sudah menjadi bagian dari malam-malam keluarga kami.

Pada hari ketiga sejak lemari itu ada di rumah, ibu baru saja hendak menggantungkan beberapa helai pakaian di dalamnya. Tapi urung ibu lakukan karena ketika lemari dibuka, dari dalamnya menguar bau yang teramat busuk. Saya yang kebetulan ada di rumah bergegas menghampiri Ibu yang mual-mual hebat. Sampai-sampai saya yang waktu itu di teras rumah saja kedengeran.

Saya sebenernya makin ngeri sama lemari itu. Tapi karena kayaknya Ibu nggak terlalu berpikir macem-macem, yaudah saya ngikut. Ibu malah menyikapinya dengan santuy. Yah, sama Ibu lemari itu cuma disemprot pengharum ruangan.“Ah mungkin akunya aja yang parnoan.” Pikir saya waktu itu.

Ibu baru bener-bener menyadari kalau ada yang aneh dengan lemari itu pada hari keempat sore. Waktu itu ibu berniat mengambil pakaian buat kondangan. Eh tiba-tiba ibu menghampiri saya yang duduk di kursi teras rumah. Sambil menutup hidungnya Ibu menyodorkan sehelai pakaiannya persis di hadapan muka saya.

“Uweeekkk. Kok busuk gini tho, Buk?”

“Nah itu, Le. Perasaan ibuk nyucinya juga pakai pewangi. Di dalem lemari juga udah ibuk pasangin pengharum.”

“Apa seisi lemari jadi busuk semua, Buk?”

“Kamu coba cek aja sendiri.”

Waaahhh, bener-bener ada yang nggak beres. Pas saya cek, ternyata seisi lemari baunya jadi busuk semua. Alhasil sore itu kami kepaksa harus ngeluarin semua pakaian dari lemari, mencucinya ulang, sekaligus mencuci lemarinya sekalian.

Malam harinya ibu langsung ngaduin apa yang kami alami ke bapak. Bapak yang baru saja pulang kerja nggak bisa ngasih penjelasan lebih. Dia malah kelihatan terheran-heran sama lemari buatannya itu.

“Apa jangan-jangan dari kayunya tho, Pak?”

“Ah, nggak mungkin sih tapi. Ha wong kayunya ini bagus, kok,” ujar bapak sambil mengecek lemari yang habis kami cuci sore tadi.

Nah, jawabannya ada pada malam itu juga. Kebetulan malam itu saya melek sampai larut karena ngerjain naskah buat pentas drama sekolahan. Lewat tengah malam, pas saya mau ke belakang ngambil air minum, dari lemari yang teronggok di ruang tengah itu saya mendengar ada suara rintihan perempuan. Lirih, halus, tapi menyeramkan.

Rasa takut saya kayaknya kalah besar dari rasa penasaran saya. Karena apapun atau siapapun yang ada dalam lemari itu, dialah biang dari adanya bau busuk yang belakangan meresahkan keluarga kami.

Persis di depan lemari, dikit aja saya mau muntah di tempat lantaran bau busuk yang menusuk.  Tapi sebisa mungkin saya tahan. Nggak hanya itu, suara rintihan perempuan pun terdengar lebih jelas dari dalam sana. Saya bisa saja memilih meninggalkan lemari itu dan masuk kamar kembali. Sayangnya insting saya berkehendak lain. Tangan saya memegang gagang lemari dan membukanya secara kasar.

Tahu apa yang ada di dalam sana? Sesosok kuntilanak merah duduk meringkuk. Wajahnya rusak penuh belatung, Rambutnya panjang terurai. Dan seringainya yang naudzubillah mengerikan itu membuat sekujur tubuh saya gemetar tak terkendali. Saya mau teriak tapi nggak bisa, mau lari juga nggak bisa. Yang bisa saya lakuin saat itu cuma merem sambil baca-baca surat pendek dalam hati.

Sadar kalau tangan kiri saya masih megang gagang lemari, tanpa pikir panjang pintu lemari saya tutup kasar sampai terdengar bunyi, “gubrak!!” Udah, abis itu saya nggak tahu lagi apa yang terjadi. Pokoknya pagi pas saya bangun, saya sudah ada di kamar saya sendiri, ditemani ibu di sisi ranjang. Dan di ruang tengah sudah ada papak sama pakdhe yang pakar urusan persetanan.

“Kayu ini kamu dapet dari mana?” tanya pakdhe ke bapak.

“Pohon jati pojok ladang itu, loh, Kang. Daripada beli mending kan nebang milik sendiri.”

“Yo pantes kalau gitu.”

“Pantes gimana maksudnya, Kang?”

“Jati itu panggone (rumahnya) kuntilanak merah. Bau busuk dan yang bikin anakmu pingsan semalem itu ya makhluk ini.”

Akhirnya setelah sedikit diskusi, Bapak memutuskan untuk membakar lemari itu setelah dibaca-bacai doa oleh pakdhe. Bahkan asapnya saja tercium busuk sekali sampai-sampai tetangga yang menciumnya pada komplain, “MasyaAllah, itu bakar apa, tho, kok gini amat baunya?!”

Setelah itu nggak ada lagi hawa aneh, perempuan merintih, atau bau busuk menyengat lagi dalam rumah. Tapi bukan berarti teror sudah selesai ya, Lur. Sebab nyatanya si kuntilanak merah nggak segampang itu sudi minggat dari rumah kami.

Selepas isya, tiga hari setelah peristiwa pembakaran, saya yang baru saja pulang dari yasinan di rumah tetangga melihat ada sosok perempuan berdiri di dekat pintu dapur yang remang-remang. Saya nggak berpikir macem-macem karena saya pikir itu Ibu.

“Buk, nih ada berkatan kalau mau Jenengan makan,” ucap saya pede sambil meletakkan berkatan di atas meja dapur.

Bukan suara ibu yang saya dengar, tapi suara cekikikan yang menyeramkan. Mendengar itu saya tercekat dan mematung. Jangan-jangan kuntilanak merah itu lagi?

 

Editor: Aly Reza


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x