Sikap Kritis Warga Desa Manggar Sambut Pilbup Rembang 2020: Politisasi Kiai Sudah Nggak Zaman!

- 14 Oktober 2020, 16:29 WIB
Ilustrasi Pilkada Rembang 2020
Ilustrasi Pilkada Rembang 2020 //nurfmrembang

Rembang Bicara - Pilkada serentak 2020 mung tinggal hitungan bulan. Paslon-paslon kepala daerah kian gencar menggalakkan kampanye buat menghimpun suara dan dukungan dari masyarakat. Mulai dari blusukan, masang baliho, dan beragam model kampanye yang lain.

Termasuk di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, paslon cabup-cawabup sudah mulai melakukan blusukan di desa-desa, besar-besaran masang baliho di jalan-jalan, dan yang paling kelihatan adalah, ada paslon yang nyata-nyata membeli suara para kiai desa untuk mempengaruhi masyarakat agar mau memilih dia.

Sebab begini, Lur, kultur kiai-sentris di Rembang memang begitu kuat, khususnya bagi masyarakat pedesaan. Di mana dawuh kiai seolah jadi kebenaran mutlak yang harus dianut dan dilakukan. Nah, dengan begitu, kalau pak kiai milih paslon ini, maka suara masyarakat pun akan terhimpun untuk memilih paslon pilihan kiai tersebut.

Tidak bakal ada yang berani beda pilihan dengan kiai yang mereka anut, walaupun sebenernya dalam hati tak cocok atau tidak sreg sama sekali. Namun, masyarakat lebih memilih sendika dawuh atau bahasa politisnya sami’na wa atho’na dengan apapun yang dititahkan oleh pak kiai, jika tidak mau kualat dunia-akhirat.

Ya begitulah gambaran betapa memang sangat tunduk dan patuhnya masyarakat Rembang dengan para kiai. Maka tidak heran, dalam momen-momen seperti sekarang ini, banyak kiai yang direkrut jadi juru kampanye. Sebab potensi bakal memenangkan pilbup pun sudah terjamin dan memang, strategi tersebut sudah teruji saban tahun.

Tapi, strategi tersebut tahun ini kayaknya sudah tak cukup mempan di desa saya, Manggar, Kecamatan Sluke, Kabupaten Rembang.

Masyarakat desa saya sekarang sudah pada kritis jika itu menyangkut urusan politik. Mereka sudah belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pilbup pada tahun-tahun yang lalu.

Memang ada paslon cabup-cawabup yang berhasil membeli suara pak kiai dan tokoh-tokoh agama desa. Tapi sayangnya, paslon tersebut dan pak kiai, tahun ini, tidak segampang itu membodohi masyarakat lagi. Masyarakat sudah cerdas, je..

Sikap kritis masyarakat desa saya ditunjukkan dengan bagaimana reaksi mereka dalam menanggapi kampanye-kampanye dari cabup-cawabup yang masuk ke desa:

Pertama, satu bulan yang lalu, ada paslon yang sempat kolaborasi dengan tokoh-tokoh agama desa saya untuk mengadakan pengajian kecil-kecilan.

Dalam pengajian tersebut, satu, yang dibahas adalah kriteria-kriteria pemimpin teladan yang sesuai dengan ajaran agama (menurut pak kiai). Dua, kelihatan banget masyarakat digiring agar jangan sampai tidak mituhu (manut) apa yang jadi dawuh pak kiai. Dengan kata lain, masyarakat desa saya diharuskan milih cabup-cawabup yang jadi pilihannya kiai, yaitu paslon yang mengadakan pengajian kecil-kecilan tersebut.

Kedua, Jumat kemarin, dalam pengajian rutinan ibu-ibu Muslimat di masjid desa, ada paslon yang mengirim istrinya dan tim khusus buat kampanye.

Forum yang harusnya diisi kajian keagamaan itu pun akhirnya berisi narasi yang sangat tendensius buat menggiring masyarakat agar milih paslon yang istrinya sedang kampanye ini. Parahnya, sambil jelek-jelekin dan jatuhin imej paslon yang jadi lawannya.

Ketiga, jalanan desa saya sekarang dipenuhi dengan baliho-baliho yang bertuliskan, “Wong Manggar mituhu marang dawuhe kiai (Orang Manggar harus manut apa kata kiai)”.

Tujuannya ya jelas, tho, biar masyarakat desa saya mau langsung mantap memilih paslon tersebut, mituhu atau manut dengan pilihan pak kiai.

Tapi sayang sungguh sayang, upaya tersebut hasilnya ternyata meleset jauh.

Di kasus pertama, sepulang dari pengajian kecil-kecilan itu, saya menangkap kesan tidak enak dari sebagian besar masyarakat. Yang kesimpulannya, alih-alih mantap buat memilih paslon tersebut, masyarakat desa saya malah menyayangkan sikap pak kiai dan politisi yang menggunakan masjid tidak semestinya.

Di kasus kedua juga sama saja. Ibu-ibu Muslimat merasa tidak mendapat apa-apa dari pengajian yang mereka ikuti.

“Kita ke masjid kan niatnya buat ngaji, memperdalam ilmu agama, mendekatkan diri ke Gusti Allah, eh hla kok malah muspra sebab bahasan politik yang ngelantur ngalor-ngidul dan banyak tipu-tipunya itu,” gerutu salah satu ibu-ibu.

Dari respons masyarakat desa saya untuk dua kasus tersebut saja sudah terlihat jelas, bukannya mengatrol dukungan, masyarakat malah jadi tidak respek babar blas. Ya tak begitu sreg buat dukung paslon-paslonnya, ya sudah kehilangan kepercayaan juga sama pak kiainya.

Buktinya bisa dilihat dari sikap masyarakat terhadap baliho-baliho yang berjejeran di sudut-sudut jalan di desa saya.

Seperti misalnya, nih, yang dilontarkan bapak kawan saya, “Mituhu dawuh kiai itu ya kalau dawuh atau tindak-tanduknya bener dan pener. Hla kalau model kiainya doyan duit, mau dibeli pejabat, terus apa coba yang mau dianut?”

Dan ya sudah banyak masyarakat desa saya yang sadar, bahwa paslon-paslon itu sok-sok mendekati masyarakat ya cuma pas lagi butuh kayak gini saja.

Lihat saja, pas sudah Kabul hajatnya, alias sudah terpilih, pasti bakal lupa sama masyarakat yang dulu dijejali janji-janji manis dan sudah rela dukung dia. Terus ujug-ujug jadi tuli telinganya, tidak bisa mendengar aspirasi yang disampaikan masyarakat, dan buta matanya, tidak bisa melihat keadaan masyarakatnya sendiri.

Pada akhirnya saya hanya bisa bilang, politi itu soal sikap, dan Anda berhak menentukan siapa atau jalan mana yang akan Anda pilih!

 

Editor: Aly Reza


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x