Di Bawah Rezim Gundhul Pacul: Refleksi Maulid Nabi dan Hari Santri Nasional

- 21 Oktober 2020, 18:33 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi /Instagram @lbhsemarang

Rembang Bicara - Bulan ini sedianya menjadi momentum bagi kita untuk memperbanyak berkontemplasi; tafakkur dan menatabburi peristiwa-peristiwa penting yang saling berkelindan.

Mulai dari maulid Nabi Muhammad Saw., Hari Santri Nasional yang diperingati tiap 22 Oktober, bahkan polemik perihal disahkannya UU Omnibus Law  Cipta Kerja pun bisa kita gunakan sebagai bahan renungan.

Saya melihat pola yang unik dari rangkaian momen-momen tersebut. Di mana dalam setiap permenungan kita, melalui pintu manapun, akan dibawa pada satu titik keteladanan; uswatun hasanah dari Sang Lelananging Jagad; Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Seolah-olah Allah Swt. memang sengaja mengajak kita untuk mawas diri, bercermin dari lelaku luhur Kanjeng Nabi dalam bentuknya yang sangat universal. (Atau jangan-jangan Allah Swt. sedang menyentil kita; ah betapa kita terpental sangat jauh dari tammim al-akhlaq yang telah dicontohkan Kanjeng Nabi).

Secara lebih sederhana, pola-pola tersebut terangkai dalam satu dawuh Kanjeng Nabi; “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya.”

Pertama, dalam konteks Hari Santri Nasional, saya perlu mengingat kembali apa yang pernah diucapkan oleh KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus). Bahwa santri tidak spesifik mengarah kepada komunitas tertentu dengan kultur khas; menetap di pesantren, rutin mengaji, berkopiah dan bersarung, serta identitas eksternal lainnya.

Santri adalah siapa saja—tidak harus yang berasal dari pesantren—yang memiliki komitmen kebaikan dalam lingkungannya. Di mana komitmen tersebut lahir dari kesadaran bahwa seseorang, minimal, harus mampu menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Dan teladan yang sudah paling sempurna adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Terlepas dari sifat ma’shum beliau, Kanjeng Nabi adalah manusia dengan kontrol diri yang mengagumkan. Beliau memilih jujur ketika semestinya ada kesempatan untuk mengelabuhi (itulah kenapa beliau dijuluki al-amin).

Beliau memilih diam—dan bahkan menjenguk—orang yang tiap hari melemparinya dengan kotoran unta. Beliau memilih memaafkan dan mendoakan kebaikan, ketika harusnya bisa saja meminta Malaikat menimpakan gunung kepada orang kafir yang membuatnya berdarah-darah. Dan masih banyak ‘semestinya-semestinya’ yang lain.

Kedua, dalam konteks UU Omnibus Law Cipta Kerja, kontekstualisasi dawuh Kanjeng Nabi tersebut masuk dalam ruang yang lebih luas. Yaitu, seberapa becus (baca: seberapa tammim al-akhlaq) kita menjadi pemimpin bagi masyarakat banyak?

Saya rasa Kanjeng Nabi Saw. sudah memberi teladan kepemimpinan; di mana seluruh hidupnya didedikasikan demi kemaslahatan dan kemanfaataan kolektif. Hampir semua kebijakan yang dirumuskan Kanjeng Nabi adalah berdasarkan kepentingan bersama, bukan atas ambisi pribadinya sendiri. Itulah Rezim Nabawi.

Sesuatu yang tentu berbeda sangat jauh dengan Rezim Gundhul Pacul hari ini; yang mana pemimpin-pemimpin (para pejabat) kita sudah gagal dalam dua hal sekaligus. Gagal menjadi pemimpin atas diri sendiri, sekaligus gagal menjadi pemimpin bagi masyarakat banyak.

Kenapa Rezim Gundhul Pacul? Entah, saat menulis ini, tiba-tiba saja saya teringat dengan salah satu tembang dolanan gubahan maestro kesenian; Sunan Kajiaga berjudul, “Gundhul-Gundhul Pacul”.

Gundhul Pacul adalah simbolisasi seseorang dengan krisis kepemimpinan. Konon, kata “pacul” dalam tembang tersebut adalah kreta basa (akronim) dari papat wus ucul (empat yang sudah lepas).

Yaitu empat hal yang menandai seseorang tengah mengalami krisis kepemimpinan, yakni ketika: 1) Mata sudah tidak digunakan untuk melihat kesulitan rakyat. 2) Telinga sudah tidak digunakan untuk mendengar nasehat baik dan jeritan kawula cilik. 3) Hidung sudah tidak digunakan untuk mencium wewangian kebaikan, dan 4) Mulut sudah tidak digunakan untuk berkata yang jujur dan baik (menyenangkan); isinya hanya kebohongan dan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan.

Tulisan ini mungkin terlalu acak dan berputar-putar. Oleh karena itu, alangkah lebih baik saya sudahi saja di sini. Selebihnya, kembali lagi, sepertinya kita harus menenggelamkan diri dalam telaga perenungan; karena bulan ini adalah bulan yang sangat pas untuk itu. Kita harus kembali berenang, menuju muara ke-Muhamad-an.

 

 

Editor: Aly Reza


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah