Rembang Bicara - Berikut penjelasan mengenai apa itu Rebo Wekasan, beserta hukum seorang muslim yang memercayainya.
Perdebatan tentang Rebo Wekasan sudah berjalan sejak lama, bahkan oleh para ulama-ulama yang bergelar alim allamah, atau sangat alim.
Pendapat pertama datang dari para ulama yang memandang bahwa Rebo Wekasan merupakan netral.
Baca Juga: Biodata Darren Ronaldy Pemeran Bryan Sinetron TCYK, Artis Cilik yang Viral dan Menggemaskan
Bahkan percaya bahwa Rebo Wekasan merupakan hari sial sangatlah tidak diperkenankan sesuai hadits dan atsar sahabat.
Muktamar NU yang ketiga, menjawab pertanyaan “bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas?"
Ulama NU kala itu bersepakat pada Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam "Al-Fatawa al-Haditsiyah" berikut ini:
Baca Juga: Tata Cara Shalat Rebo Wekasan Lengkap Niat, Doa, Dzikir, dan Anjuran Lainnya Menurut Ulama Salaf
“Barang siapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal.
Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).
Kendati begitu, sejumlah umat Islam percaya bahwa dalam bulan Safar, Allah menurunkan bala di Rabu terakhirnya.
Hal tersebut bukan berarti percaya terhadap Rebo Wekasan sebagai hari sial, melainkan sebagai bentuk perhatian terhadap adanya qodlo dan qodar Allah.
Sebab, ada bulan yang lain pun banyak yang dispesialkan oleh Allah Ta'ala untuk sesuatu hal.
Seperti Ramadhan untuk berpuasa, Syawal untuk berhari raya, Dzulhijjah momen haji dan idul adha, dan lain-lain, bahkan nuzulul Qur'an.
Semua yang disebutkan adalah hari-hari terbaik.
Sementara ada rahmat Allah dalam bentuk keistimewaan dan kebahagiaan, ada pula rahmat Allah yang diturunkan lewat cobaan. Seperti ada senang dan ada juga susah.
Nah, Rebo Wekasan oleh ulama salaf lainnya, juga di dalam komunitas NU (ulama NU dulu keras, karena menyesuaikan masyarakat yang memang keberagamaannya harus tegas untuk mencegah hal-hal yang berpotensi disalahartikan), disebut momen penting.
Hal itu merujuk pendapat yang mengatakan bahwa di Rabu terakhir bulan Safar banyak bala’ yang diturunkan.
Syekh Abdul Hamid Al Qudsy, guru besar masjid Makkah al Mukarramah, yang mengutip pendapat dari Syekh ad Dairabiy dalam kitab Mujarabat-nya berkata bahwa setiap tahun Allah menurunkan bala’ ke dunia sebanyak 320.000.
Semua bala’ atau malapetaka itu diturunkan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar.
Memang tidak ada fakta ilmiah dari pendapat tersebut, namun terkait hal gaib ini hanya para ulama yang sudah makrifat yang mengetahuinya, dan Syekh Abdul Hamid dipercaya termasuk salah satunya.
Lalu bagaimana hukum Rebo Wekasan menurut Islam? Berikut ada perbedaan pendapat ulama yang sama-sama kuat.
Baca Juga: Supaya Melawan Kezaliman Tidak Malah Menimbulkan Kezaliman Baru, Ini Dawuh Imam Ghazali
Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, ulama fiqih yang dijuluki rais akbar NU, merupakan ulama yang melarang tradisi shalat tersebut.
Beliau beralasan bahwa shalat Rebo Wekasan bukan shalat yang disyariatkan. Sedangkan sesuai kaidah fiqih menjalankan ibadah yang tidak ada dalil pelaksanaannya hukumnya adalah haram.
Hanya saja dalam Muktamar Nahdlatul Ulama yang dilaksanakan di Magelang dan Surabaya, para ulama pakar fiqih NU menjelaskan ketidakbolehan shalat Rebo Wekasan berlaku apabila shalat tersebut diniatkan secara khusus pada ‘ain (bentuk) ritual Rebo Wekasan.
Oleh karenanya, apabila tidak diniatkan pada bentuk ‘Rebo Wekasan’, melainkan diniatkan menunaikan shalat muthlak atau hajat, maka hukumnya tidaklah mengapa.***