Menyelami Dimensi Esoterik dari Dialog Film Rayya: Cahaya di Atas Cahaya (2012)

- 2 Oktober 2020, 03:52 WIB
Salah satu adegan dalam film Rayya: Cahaya di Atas Cahaya (2012).
Salah satu adegan dalam film Rayya: Cahaya di Atas Cahaya (2012). //Tangkapan layar YouTube.com/Jenaka RY

Rembang Bicara - Saya berani memastikan, kalau banyak di antara kawan-kawan pembaca yang tidak pernah nonton atau bahkan tidak tahu sama sekali dengan film Rayya: Cahaya di Atas Cahaya (2012). Kalau toh ada yang pernah nonton, saya juga berani jamin, pasti sebagian Anda berpendapat bahwa film ini amat sangat membosankan.

Saya pun sudah bisa menebak, beberapa dari Anda pasti berpikir bahwa, film ini terlalu filosofis dan abstrak. Secara, penulis naskahnya adalah seorang Emha Ainun Nadjib.

Dengan ini saya jadi sepakat dengan yang dikatakan Mas Sabrang MDP (selaku produser), dalam sebuah wawancara pra produksi 9 tahun silam. “Jika Anda merasa sudah menemukan diri Anda sendiri. Jika Anda merasa sudah final dalam urusan spiritual. Maka saya sarankan, jangan sekali-kali nonton film ini. Film ini hanya buat orang-orang yang nggak berhenti mencari.”

Baca Juga: Menulis Itu Melawan, Bung! (Mengenang 3 Tahun Wafatnya Jamal Kashoggi)

Menurut saya, kekuatan film ini terletak pada dialog antar tokoh. Dialog-dialog yang dihadirkan seolah lahir bukan cuma nerocos dari mulut, melainkan dari dimensi esoterik, dari sebuah kesadaran intuitif-Ilahiah dalam hati tiap-tiap manusia.

Sehingga setiap kalimat yang terlontar terasa begitu berisi dan penuh makna. Jadi jika Anda adalah jenis penonton yang lebih suka dengan pola cerita dalam bentuk gerak visual, menonton film ini jelas sangat mengecewakan.

Oke, saya tidak akan banyak omong tentang alur cerita dari film ini. Saya hanya akan membeberkan beberapa dialog antar tokoh. Barangkali setelah membaca ini, kawan-kawan pembaca tertarik untuk menontonnya.

Yang Indah Bagi Saya Belum Tentu Indah Baginya

Halaman:

Editor: Aly Reza


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah