Yang Bisa Kita Lakukan dengan Peradaban Literasi Kita yang Berantakan

3 Oktober 2020, 02:17 WIB
Membaca buku hukumnya wajib ain. //Min An/Pexels.com

Rembang Bicara - Saat artikel ini saya tulis, sudah kali ke sekian ada orang yang dengan terang-terangan mencibir aktivitas baca-tulis saya. Tidak di dunia nyata, tidak di medsos, ada saja yang menganggap bahwa dua hal yang jadi hobi saya sejak kecil tersebut adalah jenis aktivitas yang tidak urgen sama sekali. Tidak punya dampak yang signifikan, jangankan bagi peradaban manusia, bagi kehidupan sehari-hari dalam skala lokal saja tidak.

Mahfud Ikhwan—sastrawan penulis pemenang Sayembara Novel DKJ 2014—juga sering mengungkapkan yang intinya, tidak usah muluk-muluk kalau bicara soal kegiatan literasi. Tidak usah sok hendak membangun peradaban hanya dari duduk menyangkung sambil baca buku.

Atau diam tertegun di depan layar laptop untuk menuangkan ide demi ide tulisan yang pada hakikatnya hanyalah bualan. Iya, membaca—mungkin secara kasar—bisa disebut dalih bagi orang malas. Sementara menulis adalah opsi pelarian bagi orang-orang minim keterampilan seperti saya ini.

Mungkin terdengar idealis, tapi saya tetap mau melakukan sedikit pembelaan terhadap dunia yang sudah seperempat jalan saya tekuni, dan sudah jadi masa depan yang pengin saya wujudkan ini. Karena sebagai “orang malas dan minim keterampilan”, saya belum—atau bahkan tidak—punya gambaran mau terjun ke mana lagi kalau tidak ke sana.

Baca Juga: Menulis Itu Melawan, Bung! (Mengenang 3 Tahun Wafatnya Jamal Kashoggi)

Bukan karena memang saya berwacana membangun peradaban dari membaca dan menulis. Tapi karena justru cibiran-cibiran tersebut, di banyak titik, ternyata ada benarnya.

Dan kalau boleh saya sedikit meromantisasi, kira-kira begini:

Peradaban kita sejatinya adalah peradaban literatif. Peradaban yang dibangun dan berkembang atas kesadaran untuk melek aksara. Misalnya saja, dalam diskursus sejarah kepurbakalaan, dikenal dengan istilah Zaman Pra Aksara untuk menyebut satu masa awal kehidupan manusia di muka bumi.

Lebih mudah kita juga menyebutnya sebagai Zaman Primitif. Dikatakan demikian (primitif) karena manusianya belum mengenal aksara atau huruf; belum mengerti baca-tulis. Sehingga apa pun yang dikerjakan manusianya pada masa itu lebih bertumpu pada insting, bukan pengetahuan. Sementara sumber pengetahuan berasal dari masifnya aktivitas literasi.

Itulah kenapa, bahkan ada ungkapan yang menyebut, “Kalau engkau hendak menghancurkan suatu bangsa, mudah saja. Bikin bangsa tersebut buta huruf. Jauhkan mereka dari buku-buku.”

Sebuah penegasan bahwa, literasi dan segala aspek terkait di dalamnya adalah pondasi utama dalam membangun peradaban manusia.

Kalau kita persempit batasnya dalam perspektif ke-Islaman, kita tentu sudah hafal luar kepala bahwa perintah pertama yang diturunkan Tuhan ternyata bukan soal ibadah syariat (katakanlah salat, puasa, zakat, haji, dll) maupun cabang-cabang ibadah yang lain. Tuhan justru menitahkan manusia untuk “Iqra”: membaca.

Beberapa sastrawan—dengan berdasarkan pada fakta tersebut—bahkan memberi ungkapan  nakal, “ Perintah membaca itu datang langsung dari Tuhan. Dan turun jauh lebih awal dari perintah-perintah yang lain. Maka, jelas sudah bahwa membaca hukumnya wajib ain.”

Atau satu saja misalnya, era Kejayaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad yang diiringi oleh kepedulian terhadap dunia literasi, yaitu dengan berdirinya Bait al-Hikmah, perpustakaan terbesar pada waktu itu.

Kemudian perdaban tersebut runtuh dan literasi Islam terseok-seok sampai sekarang pasca-penyerangan Mongol yang juga menjarah habis buku-buku dari Bait al-Hikmah. Dengan kata lain, maju-mundurnya sebuah peradaban bahkan sangat ditentukan oleh buku-buku.

Sekarang, coba kita masuk ke konteks literasi di Indonesia. Sejarah mencatat, republik ini berdiri ditopang oleh orang-orang yang mencintai buku-buku. Mereka yang menghabiskan separuh hidupnya untuk membaca dan menulis.

Sebut saja di antaranya, Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, K.H. Agus Salim, Tan Malaka, Tirto Adi Suryo, dan sekian nama besar tokoh revolusioner tanah air yang tentu akan menghabiskan berlembar-lembar halaman jika saya tuliskan semuanya di sini.

Pada intinya, diilhami oleh buku-buku yang sudah mereka lahap, mereka pun tumbuh menjadi orang-orang dengan wawasan yang luas, memiliki kepekaan hati yang tajam, dan gagasan-gagasan revolusioner nan cemerlang yang akhirnya menggugah mereka untuk membawa Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan.

Mundur sedikit ke belakang—mungkin hanya akan saya singgung beberapa yang berasal dari Jawa—peradaban Nusantara adalah peradaban yang sangat akrab dengan literasi. Buktinya, banyak sekali pujangga-pujangga yang lahir, yang karyanya bahkan masih sangat relevan untuk digunkana sebagai acuan pada masa sekarang ini.

Baca Juga: Sinau dari Lapangan Hijau: Melihat Gigi Tua Buffon

Sebut saja, Mpu Prapanca dengan Kakawin Nagarakartagama; kitab undang-undang era Majapahit. Atau ada juga Mpu Tantular VI dengan Kakawin Sutasoma; yang mana menjadi inspirasi disepakatinya semboyan berbangsa-bernegara; Bhinneka Tunggal Ika. Dua contoh ini saya kira cukup untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia, sejatinya merupakan bangsa dengan kesadaran literasi sangat tinggi.

Sayangnya, semua itu memang hanya kepingan-kepingan masa lalu. Terkesan sangat utopis kalau sampai ada yang berani bilang hendak membangun peradaban lewat jalur literasi. Hla wong pihak yang lebih otoritatif buat mewujudkan wacana ini, yakni pemerintah berikut aparatur negara, bahkan lebih gemar membredel penerbitan buku dan membatasi akses warganya untuk membaca.

Anton Kurnia, kolomnis sekaligus pemerhati sastra, menyebut aktivitas membaca bagi masyarakat kita masih merupakan suatu “kemewahan” (untuk menunjukkan betapa sangat rendah minat baca masyarakat Indonesia. Membaca seolah adalah kegiatan yang aneh dan tidak populer).

Secara lebih lanjut, dia bahkan berani mengatakan, “Di negeri ini, buku kerap bernasib tidak jauh beda dengan film porno; sama-sama dilarang beredar, bahkan terkadang dibakar terang-terangan di muka umum.”  Lebih-lebih jika buku tersebut, menurut ukuran aparat, terindikasi berbau komunis.

Yah, alhasil masyarakat kita, seperti yang diungkapkan sastrawan senior Seno Gumira Adjidarma, dalam pidato penerimaan Hadiah Sastra Asia Tenggara di Bangkok 1997, “Adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu berapa persen diskon obral besar di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca subtitle opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan.”

Meski begitu, tidak mengapa. Saya—dan semoga Anda sekalian—akan tetap membaca (dan menulis, tentu).

Kalau toh dengan dua jenis aktivitas ini kita tidak (mungkin) bisa membangun peradaban, paling tidak kita bukan termasuk yang disebut oleh Joseph Brodsky (pemenang Nobel Sastra 1987) telah melakukan kejahatan yang lebih besar dari membakar—dan membredel buku—yakni, tidak membaca buku.

Dan yang paling penting, paling tidak—dengan tetap dan terus memabaca (dan menulis)—minimal kita telah menjalankan perintah wajib Tuhan yang pertama kali: Iqra. Sambil terus berdoa dan berharap, semoga suatu saat, yang entah kapan itu, kita benar-benar bisa membangun peradaban literasi yang sekarang tinggal puing dan kepingan masa lalu; berserakan dan berantakan.

 

 

Editor: Aly Reza

Tags

Terkini

Terpopuler