Di Bawah Rezim Gundhul Pacul: Refleksi Maulid Nabi dan Hari Santri Nasional

- 21 Oktober 2020, 18:33 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi /Instagram @lbhsemarang

Kedua, dalam konteks UU Omnibus Law Cipta Kerja, kontekstualisasi dawuh Kanjeng Nabi tersebut masuk dalam ruang yang lebih luas. Yaitu, seberapa becus (baca: seberapa tammim al-akhlaq) kita menjadi pemimpin bagi masyarakat banyak?

Saya rasa Kanjeng Nabi Saw. sudah memberi teladan kepemimpinan; di mana seluruh hidupnya didedikasikan demi kemaslahatan dan kemanfaataan kolektif. Hampir semua kebijakan yang dirumuskan Kanjeng Nabi adalah berdasarkan kepentingan bersama, bukan atas ambisi pribadinya sendiri. Itulah Rezim Nabawi.

Sesuatu yang tentu berbeda sangat jauh dengan Rezim Gundhul Pacul hari ini; yang mana pemimpin-pemimpin (para pejabat) kita sudah gagal dalam dua hal sekaligus. Gagal menjadi pemimpin atas diri sendiri, sekaligus gagal menjadi pemimpin bagi masyarakat banyak.

Kenapa Rezim Gundhul Pacul? Entah, saat menulis ini, tiba-tiba saja saya teringat dengan salah satu tembang dolanan gubahan maestro kesenian; Sunan Kajiaga berjudul, “Gundhul-Gundhul Pacul”.

Gundhul Pacul adalah simbolisasi seseorang dengan krisis kepemimpinan. Konon, kata “pacul” dalam tembang tersebut adalah kreta basa (akronim) dari papat wus ucul (empat yang sudah lepas).

Yaitu empat hal yang menandai seseorang tengah mengalami krisis kepemimpinan, yakni ketika: 1) Mata sudah tidak digunakan untuk melihat kesulitan rakyat. 2) Telinga sudah tidak digunakan untuk mendengar nasehat baik dan jeritan kawula cilik. 3) Hidung sudah tidak digunakan untuk mencium wewangian kebaikan, dan 4) Mulut sudah tidak digunakan untuk berkata yang jujur dan baik (menyenangkan); isinya hanya kebohongan dan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan.

Tulisan ini mungkin terlalu acak dan berputar-putar. Oleh karena itu, alangkah lebih baik saya sudahi saja di sini. Selebihnya, kembali lagi, sepertinya kita harus menenggelamkan diri dalam telaga perenungan; karena bulan ini adalah bulan yang sangat pas untuk itu. Kita harus kembali berenang, menuju muara ke-Muhamad-an.

 

 

Halaman:

Editor: Aly Reza


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah