Perkiraan Waktu dan Tanda Datangnya Masa 'Sabda Palon Nagih Janji'

- 3 Oktober 2020, 16:26 WIB
Ilustrasi naskah kuna.
Ilustrasi naskah kuna. //PIXABAY

 

Rembang Bicara - Sebagian besar masyarakat Jawa meyakini, bahwa akan tiba masa yang, dalam istilah Prabu Jayabaya disebut sebagai Zaman Jayabaya, yaitu zaman di mana bebaya atau kekacauan tengah merajalela. Sedangkan menurut Serat Sabda Palon—naskah Jawa kuna yang jadi sumber utama tulisan ini—dikenal dengan istilah, “Sabda Palon nagih janji”.

Akan tiba masanya ketika Sabda Palon atau Mbah Semar yang telah moksa di Jawa bagian selatan itu datang kembali. Tujuannya adalah untuk memomong kembali masyarakat Jawa yang sudah kekeringan spiritualitas dan mengalami dekadensi moralitas. Wong Jawa wus ilang Jawane, begitu kira-kira ungkapan yang populer untuk menyebut keadaan tersebut.

Lalu, kapan kah kira-kira masa Sabda Palon nagih janji itu benar-benar datang?

Disebut dalam Serat Sabda Palon pupuh 4, Sabda Palon bersumpah bakal muncul kembali sebagai pamomong tanah Jawa dalam kurun 500 tahun pasca runtuhnya Majapahit. Jika dihitung dalam satuan Masehi, Majapahit itu runtuh pada 1478. Maka, bisa diperkirakan, 500 tahun pasca runtuhnya Majapahit itu kurang lebih jatuh pada kisaran tahun 2020-an.

Itu lah kenapa, menjelang masuk 2020, kita dihebohkan dengan berdirinya Keraton Agung Sejagat—terlapas dari latar belakang apa pun—yang mengaku memenuhi janji 500 tahun keruntuhan Majapahit.

Perkiraan ini juga disokong oleh beberapa tanda alam dan sosial yang terdapat dalam Serat Sabda Palon. Di antara tanda-tanda alam yaitu:

Satu, meletusnya gunung Merapi seperti yang terkandung dalam pupuh 5: “Kula damel pratandha/Pratandha tembayan mami/Hardi Mrapi yen wus jeblug mili lahar (Saya akan membuat pertanda/Sebagai janji teguh saya/Apabila gunung Merapi sudah meletus mengeluarkan lahar).”

Baca Juga: Yang Bisa Kita Lakukan dengan Peradaban Literasi Kita yang Berantakan

Dan meletusnya gunung-gunun berapi lain seperti disebut dalam pupuh 14, ditambah gempa bumi dahsyat seperti diceritakan pada pupuh 15; “Lindhu ping pitu sadina/Karya sisahing sujanmi (Gempa tujuh kali sehari/Membuat manusia ketakutan).

Dua, banjir bandang sebagaimana disebut dalam pupuh 7: “Kaline banjir bandhang/Jerone ngelebna jalmi (Banjir bandang akan datang/Saking dalamnya menenggelamkan manusia).” Dan tsunami dalam pupuh 13: “Ombak minggah ing daratan (Ombak naik ke daratan).”

Tiga, bakal diserang wabah mematikan, seperti tercantum dalam pupuh 11: “Pageblug ingkang winangkung/Lelara ngambra-ambra/Enjing sugeng sore pralaya (Datang wabah mengerikan/Merajalela di mana-mana/Pagi hidup sorenya semua pada mati).”

Sementara tanda-tanda sosial diwarnai dengan gejolak politik yang memanas, kondisi negara yang carut-marut, sikap egosentrisme dan eksploitatif, serta rusaknya moral masyarakat Jawa Tanda-tanda tersebut terverivikasi dalam pupuh 9, 10, dan 11.

Tanda-tanda tersebut kalau dirasa-rasakan, nyaris  semuanya terjadi dan bisa kita temui di tahun 2020 ini. Pada awal sampai pertengahan tahun saja sudah terjadi banyak sekali peristiwa alam. Mulai dari gempa bumi, banjir, gunung meletus, dan belakangan kita dihebohkan dengan prediksi akan datangnya bencana tsunami.

Belum lagi dengan merebaknya wabah Covid-19, yang seolah menjadi tanda paling tegas dan nyata bahwa, 2020 adalah tahun di mana Sabda Palon nagih janji, muncul kembali ke alam nyata.

Kalau dihitung pakai kalender Masehi, ketemunya jadi begitu. Namun, beda cerita kalau menghitungnya menggunakan tanggalan Saka (kalender Jawa), yang menurut sebagian orang lebih akurat.

Pasalnya, pada zaman Majapahit, yang populer bagi masyarakat Jawa adalah tanggalan Saka. Maka, sebagai pamomong tanah Jawa, besar kemungkinan yang dimaksudkan dengan Sabda Palon nagih janji itu jatuh pada hitungan waktu Saka.

Jika demikian, hitungan 500 tahun pasca runtuhnya Majapahit itu terhitung sejak candra sengkala Sirna Ilang Kerthaning Bhumi (Sirna: 0, Ilang: 0, Kerthaning: 4, Bhumi: 1=1400 Saka). Maka bisa diperkirakan, 500 tahun setelahnya yaitu jatuh pada kisaran tahun 1970-an, lebih tepatnya pada candra sengkala Lawon Sapta Ngesthi Aji (Lawon: 8, Sapta: 7, Ngeshti: 9, Aji: 1=1978 Saka).

Baca Juga: Sebanyak 1.834 DPS Rembang Bermasalah

Temuan tahun ini merujuk pada Serat Sabda Palon pupuh 7 berbunyi: “Sinengkalan tahunira/Lawon Sapta Ngesthi Aji (Candra sengkala atau lambang tahun datangnya/Lawon Sapta Ngesthi Aji/1978 Saka).

Tahun 1978 Saka kalau dihitung dengan satuan Masehi, maka ketemunya adalah tahun 2056. Jadi, jika menggunakan teori ini, mungkin saja tibanya masa Sabda Palon nagih janji itu sekitar tahun tersebut.

Dengan kata lain, kita juga harus bersiap-siap,  karena—merujuk tanda-tanda di pupuh-pupuh yang sudah kita bahas tadi—bisa jadi di tahun 2056 bakal terjadi banyak bencana alam yang lebih dahsyat, termasuk kedatangan pageblug atau wabah (lagi) yang mengerikan lagi mematikan.

Kemudian, apa tho sebenarnya yang dijanjikan oleh Sabda Palon di masa 500 tahun pasca keruntuhan Majapahit tersebut?

Beberapa kelompok Kejawen radikal meyakini bahwa, Sabda Palon hendak mengembalikan agama asli masyarakat Jawa, yaitu agama Budhdhi/Budhdhisme/Budhdha. Agama yang menjadi ideologi resmi kerajaan-kerajaan Jawa—khususnya Majapahit—sebelum masuknya agama Islam.

Kayakinan meraka bersandar pada Serat Sabda Palon pupuh 4 yang berbunyi: “Wit dinten punika/Kula gantos kang agami/Gama Budhdhi sun sebar ing tanah Jawa (Pada hari itu/Saya akan mengganti agama (di Jawa)/Agama Budhdhi akan saya sebar di tanah Jawa).”

Namun ada juga yang berpandangan—salah satunya Sujiwo Tejo—yang dimaksud Budhdhi di sini bukanlah agama sebagai sistem lembaga. Melainkan lebih ke ajaran keluhuran budi atau tata krama untuk ndandani (memperbaiki) moral masyarakat Jawa yang sudah tidak karu-karuan, terlepas dari apa pun agama yang dianut.

Beberapa kelompok Islam beranggapan, agama Budhdhi yang dimaksud tidak lain adalah agama Islam. Karena prinsip utama dalam Islam adalah akhlak dan moralitas, sebagaimana tertuang dalam hadis Nabi yang berarti, “Aku (Rasulullah) diutus untuk menyempurnakan akhlak (manusia).”

Tapi, lagi-lagi, anggapan ini disanggah oleh kelompol Kejawen radikal. Mereka bersikukuh meyakini bahwa, agama Budhdhi itu adalah Budhdhisme, bukan Islam. Karena dalam Serat Sabda Palon pupuh 1-3 digambarkan, Sabda Palon menolak keras ketika diminta memeluk agama Rasul (Islam) oleh Prabu Kerthabhumi (Brawijaya V).

“Yen kawula mboten arsi ngrasuka agama Rasul/Wit kula punika yekti Ratuning Dang Hyang Jawi (Hamba tidak mau memeluk agama Rasul (Islam)/Sebab hamba adalah Raja Dang Hyang tanah Jawa).” Begitu penolakan Sabda Palon yang terekam dalam pupuh 3.

Soal lebih percaya yang mana, adalah hak pribadi Anda buat menentukan.

Editor: Aly Reza


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x