Yang Bisa Kita Lakukan dengan Peradaban Literasi Kita yang Berantakan

- 3 Oktober 2020, 02:17 WIB
Membaca buku hukumnya wajib ain.
Membaca buku hukumnya wajib ain. //Min An/Pexels.com

Itulah kenapa, bahkan ada ungkapan yang menyebut, “Kalau engkau hendak menghancurkan suatu bangsa, mudah saja. Bikin bangsa tersebut buta huruf. Jauhkan mereka dari buku-buku.”

Sebuah penegasan bahwa, literasi dan segala aspek terkait di dalamnya adalah pondasi utama dalam membangun peradaban manusia.

Kalau kita persempit batasnya dalam perspektif ke-Islaman, kita tentu sudah hafal luar kepala bahwa perintah pertama yang diturunkan Tuhan ternyata bukan soal ibadah syariat (katakanlah salat, puasa, zakat, haji, dll) maupun cabang-cabang ibadah yang lain. Tuhan justru menitahkan manusia untuk “Iqra”: membaca.

Beberapa sastrawan—dengan berdasarkan pada fakta tersebut—bahkan memberi ungkapan  nakal, “ Perintah membaca itu datang langsung dari Tuhan. Dan turun jauh lebih awal dari perintah-perintah yang lain. Maka, jelas sudah bahwa membaca hukumnya wajib ain.”

Atau satu saja misalnya, era Kejayaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad yang diiringi oleh kepedulian terhadap dunia literasi, yaitu dengan berdirinya Bait al-Hikmah, perpustakaan terbesar pada waktu itu.

Kemudian perdaban tersebut runtuh dan literasi Islam terseok-seok sampai sekarang pasca-penyerangan Mongol yang juga menjarah habis buku-buku dari Bait al-Hikmah. Dengan kata lain, maju-mundurnya sebuah peradaban bahkan sangat ditentukan oleh buku-buku.

Sekarang, coba kita masuk ke konteks literasi di Indonesia. Sejarah mencatat, republik ini berdiri ditopang oleh orang-orang yang mencintai buku-buku. Mereka yang menghabiskan separuh hidupnya untuk membaca dan menulis.

Sebut saja di antaranya, Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, K.H. Agus Salim, Tan Malaka, Tirto Adi Suryo, dan sekian nama besar tokoh revolusioner tanah air yang tentu akan menghabiskan berlembar-lembar halaman jika saya tuliskan semuanya di sini.

Pada intinya, diilhami oleh buku-buku yang sudah mereka lahap, mereka pun tumbuh menjadi orang-orang dengan wawasan yang luas, memiliki kepekaan hati yang tajam, dan gagasan-gagasan revolusioner nan cemerlang yang akhirnya menggugah mereka untuk membawa Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan.

Mundur sedikit ke belakang—mungkin hanya akan saya singgung beberapa yang berasal dari Jawa—peradaban Nusantara adalah peradaban yang sangat akrab dengan literasi. Buktinya, banyak sekali pujangga-pujangga yang lahir, yang karyanya bahkan masih sangat relevan untuk digunkana sebagai acuan pada masa sekarang ini.

Halaman:

Editor: Aly Reza


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah