Yang Bisa Kita Lakukan dengan Peradaban Literasi Kita yang Berantakan

- 3 Oktober 2020, 02:17 WIB
Membaca buku hukumnya wajib ain.
Membaca buku hukumnya wajib ain. //Min An/Pexels.com

Baca Juga: Sinau dari Lapangan Hijau: Melihat Gigi Tua Buffon

Sebut saja, Mpu Prapanca dengan Kakawin Nagarakartagama; kitab undang-undang era Majapahit. Atau ada juga Mpu Tantular VI dengan Kakawin Sutasoma; yang mana menjadi inspirasi disepakatinya semboyan berbangsa-bernegara; Bhinneka Tunggal Ika. Dua contoh ini saya kira cukup untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia, sejatinya merupakan bangsa dengan kesadaran literasi sangat tinggi.

Sayangnya, semua itu memang hanya kepingan-kepingan masa lalu. Terkesan sangat utopis kalau sampai ada yang berani bilang hendak membangun peradaban lewat jalur literasi. Hla wong pihak yang lebih otoritatif buat mewujudkan wacana ini, yakni pemerintah berikut aparatur negara, bahkan lebih gemar membredel penerbitan buku dan membatasi akses warganya untuk membaca.

Anton Kurnia, kolomnis sekaligus pemerhati sastra, menyebut aktivitas membaca bagi masyarakat kita masih merupakan suatu “kemewahan” (untuk menunjukkan betapa sangat rendah minat baca masyarakat Indonesia. Membaca seolah adalah kegiatan yang aneh dan tidak populer).

Secara lebih lanjut, dia bahkan berani mengatakan, “Di negeri ini, buku kerap bernasib tidak jauh beda dengan film porno; sama-sama dilarang beredar, bahkan terkadang dibakar terang-terangan di muka umum.”  Lebih-lebih jika buku tersebut, menurut ukuran aparat, terindikasi berbau komunis.

Yah, alhasil masyarakat kita, seperti yang diungkapkan sastrawan senior Seno Gumira Adjidarma, dalam pidato penerimaan Hadiah Sastra Asia Tenggara di Bangkok 1997, “Adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu berapa persen diskon obral besar di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca subtitle opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan.”

Meski begitu, tidak mengapa. Saya—dan semoga Anda sekalian—akan tetap membaca (dan menulis, tentu).

Kalau toh dengan dua jenis aktivitas ini kita tidak (mungkin) bisa membangun peradaban, paling tidak kita bukan termasuk yang disebut oleh Joseph Brodsky (pemenang Nobel Sastra 1987) telah melakukan kejahatan yang lebih besar dari membakar—dan membredel buku—yakni, tidak membaca buku.

Dan yang paling penting, paling tidak—dengan tetap dan terus memabaca (dan menulis)—minimal kita telah menjalankan perintah wajib Tuhan yang pertama kali: Iqra. Sambil terus berdoa dan berharap, semoga suatu saat, yang entah kapan itu, kita benar-benar bisa membangun peradaban literasi yang sekarang tinggal puing dan kepingan masa lalu; berserakan dan berantakan.

 

Halaman:

Editor: Aly Reza


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah