Gencar Isu PPHN, TSRC : Jangan Sampai Terjebak Romantisme Masa Lalu

- 20 September 2021, 15:00 WIB
Yayan Hidayat
Yayan Hidayat /Sigit Alvian/TSRC

Rembang Bicara - Ikhtiar mendorong wacana Amandemen UUD 1945 tampak semakin serius setidaknya dapat kita lihat dari konsensus yang terbangun antar Partai Politik koalisi pemerintah.

Alasan yang melatarbelakangi munculnya wacana amandemen UUD 1945 adalah keinginan untuk mengubah ketentuan Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945 dengan mendorong pemberlakuan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

Pembentukan PPHN diusulkan menjadi kewenangan MPR yang diatur dalam konstitusi. Namun, untuk mengatur kewenangan MPR tersebut diperlukan amandemen konstitusi yang sifatnya terbatas.

Baca Juga: 4 Fakta Mengagumkan Guinandra Jatikusumo, Mulai Tesis Ekonomi Terbaik Hingga Penghargaan dari Presiden

Direktur Eksekutif The Strategic Research and Consulting (TSRC) Yayan Hidayat menilai bahwa penerapan PPHN akan lebih cocok untuk rezim otoriter seperti di era Orde Baru, namun tak relevan diterapkan pada masa reformasi yang telah mengalami berbagai macam perubahan politik dan sistem ketatanegaraan.

“Dengan adanya haluan negara yang kaku, arah pembangunan sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Konsekuensi lain dari pemberlakuan PPHN adalah Presiden akan kembali menjadi mandataris MPR – sesuatu yang sudah kita tinggalkan selepas Orde Baru. Sistem ketatanageraan kita akan condong kepada legislative heavy, dimana MPR memiliki otoritas penuh untuk mengatur dan merumuskan pembangunan. Hal ini menyebabkan pemilihan Presiden secara langsung menjadi tidak relevan sekaligus mengacaukan sistem presidensial” jelas Yayan.

Baca Juga: 4 Fakta Mengagumkan Guinandra Jatikusumo, Mulai Tesis Ekonomi Terbaik Hingga Penghargaan dari Presiden

Jika GBHN dihidupkan kembali maka pendulum sistem pemerintahan akan bergerak kembali ke arah parlementer dan merusak sistem presidensial yang selama ini dibangun.

Sistem presidensial telah terbukti berhasil dalam membawa Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis karena Presiden bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung, bukan kepada lembaga negara.

Baca Juga: Irjen Napoleon Bonaparte Kirim Surat Pembelaan atas Agamanya yang Dihina Muhammad Kace, Ini Isinya

Betapa tidak, konsekuensi politik dari pemberlakuan PPHN adalah Presiden akan tunduk pada otoritas MPR. Artinya kita akan menghadapi sistem presidensial rasa parlementer dalam pelaksanaan pembangunan.

Menurut penilaian Yayan, Paradigma bernegara kita telah berubah, tidak lagi menganut prinsip supremasi MPR, melainkan supremasi konstitusi.

Baca Juga: Biodata Putri Tanjung Lengkap dan Terbaru, Staf Presiden yang Baru Saja Dilamar Guinandra Jatikusumo

Konstitusi UUD 1945 menjadi landasan dan pedoman dalam melaksanakan pembangunan.

Secara politik, pun kita telah memiliki seperangkat sistem yang memastikan terciptanya kesinambungan dalam rencana pembangunan tanpa pemberlakuan PPHN.

Semua gambaran ideal soal pemberlakuan PPHN yang dikemukakan oleh elite politik tak lebih hanya sebagai jebakan romantisme masa lalu yang justru kontraproduktif dengan iklim politik dewasa ini.

Baca Juga: Profil dan Biodata Guinandra Jatikusumo, Calon Suami Putri Tanjung, Lengkap dengan Pendidikan dan Profesinya

“Jangan sampai dalih pemberlakuan PPHN melalui amandemen UUD 1945 justru menjadi pintu gerbang kebangkitan kembali otoritarianisme yang dulu pernah menjadi sejarah kelam politik di Indonesia” pungkas Yayan.***

Editor: Achmad Choirul Furqon


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x